Minggu, 26 September 2010

Kondisi Aktual Masyarakat Indonesia Saat Ini

PENGEMBANGAN SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA SAAT INI

Melihat kondisi kesehatan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, maka perlunya peran aktif semua pihak didalam masalah kesehatan masyarakat, penyedia layanan kesehatan, masyarakat, pemerintah dan perusahaan perlu menjabarkan peta jalan pengembangan kesehatan masyarakat secara terpadu dan berkelanjutan. Mengingat wilayah Indonesia sangat luas dengan karakteristik area minyak, gas, pertambangan dan agribisnis baik pertanian, perkebunan dan perikanan, perlunya kerjasama merumuskan dan mengembangkan program kesehatan masyarakat sesuai karakteristik daerah setempat sehingga tahap perubahan menuju masyarakat sehat baik secara sikap, budaya maupun sistem kerja didalam pengelolaan kesehatan masyarakat menjadi bagian kesadaran dan pengetahuan masyarakat dan pada akhirnya memiliki self belonging bahwa kesehatan merupakan milik dan tanggung jawab bersama dan mampu menimbulkan sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang tidak mematuhinya.

Menurut F. Basri (1995) dengan memberdayakan semaksimal mungkin organisasi informal masyarakat, kemudian meletakkan dasar-dasar kolaborasi dengan organisasi formal termasuk unsur jejaring kesehatan dapat berperan pada saat awal sebagai stimulus pemicu (trigger) atau mentor dan meningkat pada tahapan selanjutnya menjadi fasilitator dengan program pendampingan dan kemudian pada saat kemandirian masyarakat sehat terwujud maka peran sebagai narasumber dan pusat pengembangan program komunitas berbasis kesehatan (community based health) melalui jejaring kesehatan dapat menjadi suatu percontohan melalui kerjasama masyarakat, perusahaan dan pemerintah daerah setempat agar dapat dilakukan penyebaran luas cakupan pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia dalam bentuk percepatan kuantitas area cakupan masyarakat dan fokus spesifik kebutuhan program. Program strategis jangka panjang pengembangan kesehatan masyarakat merupakan hasil sinkronisasi program dan target indikator kesehatan nasional dengan kebutuhan dengan memperhatikan tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat setempat terhadap kesehatan.

Program pengembangan sistem kesehatan masyarakat dapat menjadi tanggungjawab bersama dan sejalan dengan regulasi pemerintah pusat dengan peraturan perundangan tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (Corporate Social Responsibilty) sehingga dengan kemampuan perencanaan dan analisa kebutuhan yang matang suatu upaya optimalisasi dana dan tenaga melalui mekanisma CSR diharapkan tercapai suatu pemberdayaan dan pengembangan masyarakat diseluruh bidang termasuk bidang kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar didalam menurunkan angka kesakitan dan akhirnya mendukung produktifitas regional dan nasional.

Pola penyegaran, pembinaan, pemberdayaan dan penguatan jaringan organisasi Puskesmas, Poskesdes, Posyandu, UKS/UKGS dan PMR sangatlah penting didalam mengembangkan sistem kesehatan masyarakat dengan tujuan menuju masyarakat sehat dan sejalan dengan melibatkan masyarakat semaksimal mungkin. Dengan partisipasi semaksimal mungkin dari organisasi aktif yang berada di masyarakat seperti Kader Posyandu, PKK, Taruna Karya, Pramuka, Sarjana Penggerak Pedesaan dan organisasi lainnya serta didukung oleh MUSPIDA setempat.

Menurut http://www.wikipedia.com (2009) perspektf yang digunakan adalah perspektif Behavioralisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar). Behavioralisme adalah filosofi dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau konstrak hipotetis seperti pikiran.

Behavioralisme beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan). Perspekti Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.

Cara kerja radikal, esensial dan mendalam diharapkan mampu menjelasakan sifat dan nilai dari kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Behaviorisme dengan teori belajarnya mampu menjelaskan perubahan tingkah laku manusia yang juga merupakan tujuan dari pelatihan. Behaviorisme memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberikan respon terhadap lingkungan sehingga pengalaman dan pemeliharaan tentang unsur perilaku tersebut akan membentuk perilaku mereka.Menggunakan deskriptif kualitatif dengan metode survey karena program kesehatan masyarakat yang merupakan hasil dari sistem kesehatan masyarakat dirasakan sebagai milik bersama karena melibatkan partisipasi masyarakat dan secara simultan edukasi kesadaran masyarakat terhadap kesehatan terus berlangsung secara otomatis sehingga budaya sehat diharapkan menjadi kebiasaan dan kebutuhan pokok masyarakat, disisi lain memberikan sensitifitas masyarakat terhadap deteksi dini masalah gizi, wabah dan tanggap bencana agar koordinasi penanggulangan semakin baik. Masyarakat Ketahanan sistem kesehatan masyarakat tidak dapat lepas dari pengaruh sistem yang berada diluar sistem kesehatan masyarakat sendiri. Menurut Tri Widodo (2004), pengembangan sistem kesehatan masyarakat harus didukung oleh sistem-sistem yang berada diluar sistem kesehatan masyarakat sebagai contoh sistem pendidikan, sistem informasi dan teknologi, sistem keuangan dan lain-lain yang mempunyai dampak pengaruh bagi kesehatan masyarakat. Kondisi awal sistem kesehatan masyarakat saat ini masih dipertanyakan apakah Indonesia memiliki sistem kesehatan masyarakat yang sudah dapat menjamin kesehatan masyarakat dan bagaimana sistem kesehatan masyarakat ini dikembangkan atau berkembang sendiri masing-masing daerah sesuai kebutuhan tanpa suatu kebijakan nasional atau bahkan regional atau sistem kesehatan masyarakat telah mengalami degradasi peran dan fungsi sehingga tidak lagi bermanfaat bagi masyarakat.

Situasi lingkungan masyarakat yang memberikan dampak negatip bagi kesehatan merupakan tantangan diluar sistem kesehatan masyarakat sebagai contoh wabah penyakit baru seperti flu burung dan HIV/AIDS dimana Indonesia berada sangat dipengaruhi lalu lintas dunia baik arus manusia maupun barang termasuk kandungan makanan dan minuman. Disamping itu, masalah mendasar dengan jumlah penduduk yang besar dengan ciri kepulauan masih perlunya pengawasan terhadap masalah gizi agar tidak terjadi gizi buruk yang sangat ironis dengan sumber daya alam yang kaya. Menurut David Corten dkk (2003), sistem kesehatan masyarakat yang handal mampu melakukan proteksi diri terhadap bahaya yang mengancam dan memberikan peringatan awal (early warning system) bagi regional dan nasional agar respon penanggulangan dapat segera diambil tindakan secara cepat. Perkembangan teknologi biologi dan kedokteran mengarah kepada adanya isu-isu internasional mengenai bioterrorism membuat perlunya peranan pemerintah membuat kebijakan dan regulasi terhadap sistem keamanan nasional yang melindungi sistem kesehatan masyarakat nasional yang mencakup sistem kesehatan masyarakat daerah khususnya negara kepulauan yang berbatasan baik udara, darat maupun laut.

Menurut Michael Lipton (1977), kondisi ideal bahwa sistem kesehatan masyarakat saat ini seharusnya selalu dapat di monitor dan evaluasi agar mampu diperbaiki dan diarahkan menjadi suatu sistem kesehatan masyarakat nasional yang mampu menjamin kesehatan masyarakat dan selalu mengikuti perkembangan jaman. Pemahaman terhadap sistem kesehatan masyarakat harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki kejelasan terhadap faktor lingkungan sistem, faktor masukan sistem, pelaku dan prosedur atau metoda proses sistem, faktor keluaran sistem baik output dan outcome serta alat ukur umpan balik sistem yang handal. Sistem kesehatan masyarakat bukan sekedar sistem pelayanan kesehatan dari upaya penyembuhan tetapi merupakan suatu sistem yang meliputi fungsi promosi, pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi kesehatan sehingga peranan yang kuat didalam tranformasi budaya sehat menjadi bagian yang penting menuju masyarakat sehat sebagai sasaran utama sistem kesehatan masyarakat. Dengan upaya promosi dan pencegahan terhadap bahaya penyakit, maka sistem kesehatan masyarakat berupaya mengurangi jumlah kesakitan dan biaya kesehatan sekaligus diharapkan meningkatkan produktifitas nasional.

Beban finansial yang besar dikeluarkan setiap tahun dan terus meningkat baik pengeluaran pribadi maupun pemerintah mencapai triliunan rupiah per tahun dapat dihemat dengan membangun sarana dan prasarana kesehatan yang lebih banyak, merata dan modern di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar masyarakat mampu telah berobat ke luar negeri sehingga menghabiskan dana triliunan rupiah devisa negara dapat dihemat dengan mengembangkan sistem kesehatan masyarakat yang modern dan canggih. Pengembangan sentra-sentra kesehatan atau rumah sakit khusus di seluruh Indonesia menjadikan suatu jejaring kesehatan yang berupaya memberikan pelayanan kesehatan terbaik berasal dari kemandirian bangsa. Menurut Koentjaraningrat (1997), Indonesia akan memasuki era globalisasi dengan perubahan paradigma layanan kesehatan, disisi lain negara-negara lain berbenah dengan pengembangan kesehatan masyarakat berbasis teknologi kesehatan, teknologi informatika dan kompetensi SDM didukung sarana dan prasarana yang modern menjadikan suatu ancaman dan tantangan terhadap kemampuan sistem kesehatan masyarakat nasional didalam menangkap peluang globalisasi atau paling tidak mencegah devisa negara ke luar negeri. Arah pengembangan sistem kesehatan masyarakat yang hanya bersifat pasif dan menyerap biaya kesehatan sangat besar menyebabkan ketidakmampuan sistem kesehatan masyarakat untuk keluar mencari solusi dari berbagai masalah kesehatan masyarakat sehingga menyebabkan sistem kesehatan masyarakat menjadi lemah untuk memperbaiki diri apalagi untuk meningkatkan kemampuan layanan kesehatan karena terjebak terhadap masalah rutinitas fungsi kuratif dan rehabilitatif masyarakat.

Menurut Erwidodo Kasryno, dkk (2003), sistem kesehatan masyarakat yang berawal dari kelompok kecil masyarakat pada tingkat RT atau RW dengan posyandu, poskesdes, puskesmas pembantu, puskesmas dan rumah sakit pemerintah dapat menjadi suatu jejaring sistem kesehatan utama yang memiliki rentang pembinaan dari segi pengembangan dan tingkat kolaborasi dengan organisasi informal dan formal masyarakat yang ada, instansi pemerintah terkait dan jejaring layanan kesehatan swasta agar menjadi suatu sistem kesehatan masyarakat yang terintegrasi. Sistem kesehatan masyarakat posyandu merupakan sistem kesehatan masyarakat yang dimiliki masyarakat seharusnya memiliki pembinaan yang kontinu dari tingkat layanan kesehatan yang menjadi rujukan atau dinas kesehatan setempat sehingga kader posyandu memiliki kemampuan dasar yang memadai didalam pengelolaan posyandu. Kegiatan prosyandu tidak hanya mencakup kegiatan yang bersifat program pemerintah seperti pekan imunisasi tetapi juga kegiatan penyuluhan penyakit dan ceramah pola hidup sehat dan bersih menjadi bagian terpenting didalam mewujudkan budaya masyarakat sehat. Sikap proaktif pelaku didalam sistem kesehatan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendorong tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Pemanfaatan lingkungan yang bersih dan sehat dimulai dari kamar mandi rumah merupakan awal yang baik sampai dengan pemanfaatan tanaman obat di lingkungan rumah menjadikan suatu upaya kesadaran, pengetahuan serta biaya kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat luas sampai dengan pedesaan dan pesisir pantai. Penyegaran kader posyandu melalui modul pelatihan praktis seperti cara menimbang bayi, materi penyuluhan, cara menyikat gigi yang benar, P3K dan lain-lain diharapkan memberikan dampak pengaruh positip bagi edukasi masyarakat.

Pendekatan Model Sistem Kesehatan Masyarakat

Sebuah pendekatan sistem untuk memodelkan sistem kesehatan masyarakat diperlukan untuk memahami unsur-unsur sistem kesehatan masyarakat dan interaksinya untuk memudahkan pengembangan sistem kesehatan masyarakat yang dimaksud didalam penulisan makalah ini. Suatu model merupakan representasi sederhana dari suatu masalah agar semua pihak dalam memiliki persepsi, pengertian dan pemahaman yang sama didalam mengembangkan sistem kesehatan masyarakat termasuk sumber daya yang dibutuhkan, proses dan interaksi, hasil dan akibat samping termasuk fakor-faktor lingkungan yang perlu diperhatian agar ketahanan sistem kesehatan masyarakat dapat dipertahankan dan dikembangkan dalam situasi dan kondisi yang semakin tidak pasti dimasa datang.

Suatu hal yang perlu dipahami bahwa sumber daya masa datang yang semakin terbatas dengan berbagai penyakit baru baik karena mutasi maupun akibat kemampuan teknologi biologi serta populasi manusia semakin bertambah yang membutuhkan kesehatan memadai. Oleh karena itu, kemampuan negara yang dituntut mencakup kebutuhan dasar termasuk pendidikan, kesehatan, pangan dan papan menjadi pendorong agar sistem kesehatan masyarakat dapat diintegrasikan kedalam sistem sosial dan perilaku masyarakat sehingga beban negara tidak terlalu besar. Menurut A. Partadiredja (1993), masalah yang sangat dominan bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah besarnya pengaruh faktor lingkungan sistem termasuk pengaruh arus liberalisasi dan investasi asing, kebijakan nasional, sistem diluar sistem kesehatan masyarakat dan perilaku masyarakat yang harus dilakukan pengaturan dan pembenahan bersamaan dengan pengembangan sistem kesehatan masyarakat yang handal.

Menurut P.B Irawan dan H. Romdiati (2000), salah satu rentannya sistem kesehatan masyarakat menjadi tidak berdaya karena pola kebijakan nasional dan perilaku masyarakat. Sebagai contoh masalah industrialisasi yang terpusat di Pulau Jawa memicu urbanisasi dengan berbagai masalah sosial termasuk masalah kesehatan, sedangkan karakterisktik kepulauan atau archipelago Indonesia memiliki keunggulan generik yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain untuk dioptimalkan didalam memasuki era globalisasi. Penyebaran industri sesuai potensi daerah dapat membantu perkembangan ekonomi regional mengurangi masalah sosial, urbanisasi dan kesehatan sehingga sistem kesehatan masyarakat baik regional dan nasional dapat saling menunjang didalam mencapai kesehatan masyarakat yang terkendali bukan suatu sistem kesehatan masyarakat yang tidak stabil sehingga lepas kendali menjadi bom waktu bagi penduduk sekitarnya.

Sistem kesehatan masyarakat tidak mampu berdiri sendiri menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat perlu perilaku dan partisipasi masyarakat yang sadar bahwa masalah kesehatan merupakan tanggung jawab bersama diawali dari yang sederhana dan dapat dilakukan dimulai oleh setiap individu, keluarga, RT, RW, Desa, Kecamatan, Kota/Kabupaten, Propinsi dan akhirnya seluruh rakyat. Menurut M. Iqbal, I.S.Anugrah, DKS Swastika (2004), sebagai contoh perilaku masyarakat didalam membuang sampah pada tempatnya merupakan upaya sederhana tetapi memberikan efek penghematan anggaran luar biasa bagi petugas kebersihan dan usaha pencegahan penyebaran penyakit, banjir dan masalah sosial lainnya. Namun sayangnya pemahaman terhadap sampah masih relatip terbatas, begitu banyak sungai menjadi korban terhadap buangan sampah yang menyebabkan banjir, penyakit termasuk hilangnya keindahan suatu daerah sungai. Pemikiran bahaya sampah terhadap kesehatan menghasilkan perlunya pengolahan sampah menjadi bahan yang produktif ternyata masih belum menjadi kebijakan daerah secara nasional pada umumnya ditumpuk menjadi gunung sampah yang akhirnya terjadi kasus runtuh menimpa rumah penduduk karena lokasi pemukiman yang berdekatan dengan tempat pembuangan sampah akhir (TPA).

Menurut Paul Hirts dan Grahame Thompson (2001), arus liberalisasi investasi tanpa wawasan lingkungan dan kesehatan masyarakat karena lemahnya kebijakan nasional dapat menghalalkan hancurnya komunitas penduduk dan menimbulkan dampak berbagai masalah kesehatan, sebagai contoh eksplorasi sumberdaya alam yang berdekatan dengan bendungan air maupun pemukiman penduduk menyebabkan kerawanan dan bencana yang pada akhirnya hancurnya sistem kesehatan masyarakat. Untuk itu, perlunya suatu regulasi yang menjamin dan mengatur bahwa setiap implementasi pembangunan atau investasi di masyarakat tidak menimbulkan ekses berbahaya bagi hancurnya sistem kesehatan masyarakat termasuk kondisi lingkungan yang sehat dan sikap disiplin masyarakat untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang dapat membahayakan masyarakat sendiri. Suatu tantangan menghadapi arus globalisasi yang didalamnya terdapat muatan liberalisasi dan kapitalisme bahwa pemerintah pada tingkat lokal dan nasional harus selalu bersikap waspada dan bijaksana didalam pemanfaatan sumberdaya alam negara yang merupakan tabungan investasi generasi berikutnya agar berwawasan lingkungan dan kesehatan sehingga memiliki manfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Menurut Poli (1993), investasi yang diharapkan negara dan masyarakat adalah investasi yang memberikan nilai tambah besar bukan prioritas kepada investasi yang hanya mengeksplorasi sumberdaya alam semata, investasi yang hanya menitikberatkan pasar nasional yang besar, investasi yang memanfaatkan penduduk sebagai perakit semata, investasi yang hanya berdampak pada penguatan sektor jasa dll tetapi investasi yang mampu memberdayakan potensi masyarakat dalam jangka panjang yang memiliki kontribusi terhadap proses transfer of konwhow, transfer of technology dan transfer of knowledge sebagai contoh industri manufaktur. Jika masyarakat didalam jangka panjang tidak diberdayakan maka dapat dipastikan bahwa sistem kesehatan masyarakat didalam jangka panjang akan hilang peran dan fungsinya di masyarakat. Menurut Sallatang (1986), pada tataran makro, kebijakan ekonomi makro yang menitik-beratkan hanya pada parameter ekonomi seperti korelasi rupiah dengan mata uang asing dan mengabaikan penguatan sektor mikro menyebabkan rentannya keputusan kebijakan ekonomi terhadap mata uang yang bersifat jangka pendek atau spekulatif dibandingkan penguatan industri berbasis manufaktur yang memiliki kemampuan fundamental jangka panjang bagi ekonomi negara.

Menurut Saptana dan V. Darwis (2004), peran perusahaan yang dilaksanakan humas atau fungsi yang membidangi kerjasama masyarakat di perusahaan melalui tanggung jawab sosial perusahaan dapat membantu upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sampai dengan membantu melaksanakan pemetaan penyakit suatu daerah bekerjasama dengan pelayanan kesehatan. Perlunya partisipasi perusahaan didalam sistem kesehatan masyarakat akan memberikan persepsi positip bagi masyarakat setempat dan sekaligus memperkuat sistem kesehatan masyarakat dalam hal upaya promosi dan pencegahan dalam bidang kesehatan.

Dukungan layanan kesehatan swasta dibutuhkan untuk menerima proses rujukan yang mana memiliki sarana dan prasarana layanan kesehatan yang lebih lengkap termasuk tenaga medis atau spesialis atau sentra kesehatan khususnya rumah-rumah sakit khusus. Menurut George Soros (2007), pelayanan kesehatan swasta yang memiliki sentra keunggulan kesehatan bersama perusahaan dapat membantu pelayanan kesehatan melalui program tanggung jawab sosial dan pengembangan komunitas mulai dari posyandu sampai dengan rumah sakit pemerintah di tingkat kota/kabupaten dan propinsi. Faktor lingkungan sistem kesehatan masyarakat sangat mempengaruhi ketahanan sistem kesehatan masyarakat dalam kemampuan bertahan dan berkembang dalam situasi ketidakpastian lingkungan. Sebagai suatu kebutuhan pokok selain ekonomi, pendidikan, pangan dan sandang, kesehatan merupakan kebutuhan warga negara yang harus mendapatkan perlindungan meliputi semua lapisan masyarakat. Tentunya masalah kesehatan selalu dihadapi setiap saat, tidak ada kondisi sempurna masyarakat bahwa dalam keadaan sehat secara keseluruhan tetapi kondisi dimana dibutuhkan pelayanan kesehatan maka masyarakat dapat melakukan pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan pada saat tersebut secara memadai adalah suatu hal penting didalam mencapai masyarakat sehat, disisi lain kemampuan mendeteksi lingkungan yang membahayakan sistem kesehatan masyarakat sangat diperlukan dimana peran semua pihak termasuk masyarakat, layanan kesehatan, pemerintah dan perusahaan berkerjasama dan memiliki tanggung jawab sama didalam masalah kesehatan masyarakat. Menurut Robert. Chambers (1983), didalam era globalisasi, kepentingan asing tidak bisa tidak merupakan faktor dominan didalam perkembangan suatu negara, sehingga peran negara sebagai pembuat kebijakan menjadi sangat penting didalam kehidupan bangsa dan rakyatnya. Pemahaman terhadap arus investasi sebagai suatu pendorong ekonomi suatu negara khususnya negara berkembang masih menjadi suatu pemahaman teoritis yang dianggap bersifat universal berlaku.

Menurut H. Esmara (1986), sebagai contoh dengan kelangkaan sumber daya alam di masa datang dan pemahaman bahwa negaranya tidak memiliki sumber daya alam yang memadai bagi rakyatnya, maka dengan instrumen perusahaan finansial berbentuk holding company dan memanfaatkan kesepakatan ekonomi bersama (non tariff barrier) maka jenis perusahaan ini mampu bersifat sebagai predator ekonomi menembus batas de jure dan de facto negara artinya tanpa memiliki sumber daya alam suatu suatu negara asing mampu mengeksploitasi negara lain tanpa disadari secara maksimal dan mensubsidi rakyatnya dengan kemasan investasi asing. Pemahaman terhadap sumber daya alam yang terbatas, menyebabkan skenario penumpukan cadangan alam sumber daya sendiri ditambah eksploitasi sumber daya negara lain untuk menjaga kestabilan ekonomi dan jaminan hidup bagi warga negaranya. Menurut Tri Widodo (2003), beberapa negara disamping melakukan penumpukan terhadap cadangan sumber daya alam, juga melakukan pencadangan pada tabungan nasional dalam mata uang asing yang tidak diperhitungkan didalam perhitungan cadangan devisa agar menjadi dana abadi bagi jaminan sosial masyarakat di masa datang dan terus bertambah. Dana abadi cadangan nasional ini diharapkan mampu memberikan hasil atau return bagi jaminan sosial termasuk jaminan pendidikan dan kesehatan warga tidak mampu sehingga mengurangi beban anggaran negara.

KASUS ABORSI YANG DI LAKUKAN REMAJA TAHUN 2010

Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.

Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan.

Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.

Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!

Tak tersedianya informasi yang akurat dan "benar" tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.

Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap "pelajaran" seks dari internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!

Memang hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 - 5% Di Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.% dan pedesaan 0%.

Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah.

Berdasarkan hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan siswa SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3 persen pelajar telah melakukan hubungan seks yang pertama saat duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.

Mana yang lebih akurat? Beberapa pakar berpendapat bahwa angka yang diperoleh melalui penelitian itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es, yang kakinya masih terbenam dalam samudera.

Biaya Sosial

Kelalaian untuk menanggapi kebutuhan remaja (dan sejujurnya, masyarakat luas) akan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seks yang bertanggung jawab ternyata berbuah pahit. Begitu populernya perilaku berisiko, begitu banyak korban berjatuhan, begitu tinggi biaya sosial yang harus kita bayar.

Percaya atau tidak, angka statistik pernikahan dini --dengan pengantin berumur di bawah 16 tahun-- secara nasional mencapai lebih dari seperempat. Bahkan di beberapa daerah sepertiga, dari pernikahan yang terjadi, tepatnya di Jawa Timur 39,43%; Kalimantan Selatan 35,48%; Jambi 30,63%; Jawa Barat 36% . Di banyak daerah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Padahal pernikahan dini berarti mendorong remaja untuk menerabas alur tugas perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa memikirkan kesiapan fisik, mental dan sosial si pengantin.

Di sebuah daerah, 36% penderita penyakit menular seksual adalah pelajar. Mengejutkan memang, tetapi dapat dipahami karena dalam sebuah survei ditemukan hanya 27% remaja Indonesia yang tahu kegunaan kondom, artinya kurang lebih 27% pula yang tahu bahwa kondom dapat mengurangi risiko tertular penyakit seksual. Dari jumlah itu, 1% pernah memakai, 10% mungkin akan membeli bila perlu, sedangkan 12% menyatakan tidak tahu .

Dari 14.628 kasus HIV/AIDS, 242 kasus di antaranya adalah anak muda berusia 15-19 tahun (98 kasus karena penggunaan narkoba suntik),4.884 kasus terjadi pada remaja 20-29 tahun (3.089 kasus karena penggunaan narkoba suntik ). Ini artinya, 1 dari 2 penderita HIV/AIDS adalah remaja berusia 15-29 tahun.

Jumlah ini masih dapat berlipatganda dan nyatanya banyak remaja memiliki informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Hasil survei UNICEF menunjukkan bahwa 20% dari responden remaja yakin bahwa Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pasti terlihat sangat sakit, 7% mengenali ODHA dari bercak di kulitnya, 4% dari wajah yang pucat pasi, dan 41% mengaku tidak tahu bagaimana mengenali ODHA. Hanya 12% yang percaya pada hasil tes darah.

Nasib Remaja Putri

Nilai-nilai patriarkhis yang berurat akar di masyarakat kita telah meletakkan remaja putri jauh di luar jarak pandang kita dalam kesehatan reproduksi. Undang-undang no. 20/ 1992 mentabukan pula pemberian layanan KB untuk remaja putri yang belum menikah.

Bahkan mitos pun memojokkan remaja putri, untuk membujuk-paksa mereka supaya bersedia berhubungan seks secara "suka-sama-suka", bahwa hubungan seks yang hanya dilakukan sekali takkan menyebabkan kehamilan. Berbagai metode kontrasepsi "fiktif" juga beredar luas di kalangan remaja: basuh vagina dengan minuman berkarbonasi, lari-lari di tempat atau squat-jump segera setelah berhubungan seks.

Ketika pencegahan gagal dan berujung pada kehamilan, lagi-lagi remaja putri yang harus bertanggung jawab. Memilih untuk menjalani kehamilan dini seperti dilakukan 9,5% remaja di bawah 20 tahun , dengan risiko kemungkinan kematian ibu pada saat melahirkan 28% lebih tinggi dibanding yang berusia 20 tahun ke atas , disertai kegamangan karena tak siap menghadapi peran baru sebagai ibu. Atau menjalani pilihan lain yang tersedia: aborsi!

Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tiudak aman. Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana sebgaian besar dilakukan oleh dukun.

Dari penelitian yang dilaukan PKBI tahun 2005 di 9 kota mengenai aborsi dengan 37.685 responden, 27 persen dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya sudah mengupayakan aborsi terlebih dahulu secara sendiri dengan meminum jamu khusus. Sementara 21,8 persen dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya.

Pengetahuan Seks

Menyedihkan, kekukuhan kita untuk terus mengingkari kenyataan bahwa remaja butuh pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi yang benar, telah menjerumuskan mereka membentuk keluarga tak berkualitas: bapak-ibu belia yang tak siap fisik-psikisnya untuk menjadi orangtua, ibu tanpa suami, juga anak-anak yang ditinggal mati ibunya saat melahirkan.

Padahal memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi tidak serta-merta memberikan pula kesempatan untuk melakukan seks bebas. Pengalaman menunjukkan, di banyak negara yang telah memberlakukan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, yang terjadi kemudian bukanlah promiskuitas atau seks bebas di kalangan remaja seperti yang selalu dikuatirkan, tetapi sebaliknya pendidikan kesehatan reproduksi justru membuat remaja menunda keaktifan seksualnya.

Meski perdebatan belum surut, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia pun memaklumkan pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Ini sudah tertuang dalam Propenas 2001. Betapa melegakan, Indonesia akhirnya menapak maju mengejar ketertinggalannya dibanding negara lain, setidaknya dengan mengawali upaya untuk memberikan informasi yang benar dan akurat tentang kesehatan reproduksi remaja.

Tetapi untuk mengejar ketertinggalan dari masalah yang terus berlipatganda bagai deret ukur dibutuhkan lebih dari sekedar pencanangan pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja.

Begitu banyak hal terkait yang bisa dilakukan melalui kerja sama antara pemerintah dengan berbagai pihak antara lain:

Mengkaji ulang dan membuka peluang perubahan aturan, hukum dan perundangan; seperti Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang memberikan celah bagi terjadinya pernikahan dini, dan Undang-undang nomor 20 tahun 1992 yang mengganjal layanan kesehatan reproduksi untuk remaja putri yang belum menikah, serta seluruh aturan dan kebijakan yang dibuat berlandaskan undang-undang tersebut.

Mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma baru yang lebih peka gender dan "ramah" pada remaja dengan menempatkan remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar, dilibatkan, dan dengan demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri.

Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di dalamnya informasi tentang keluarga berencana dan hubungan antargender, diberikan tak hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat.

Rumusan baru 'kejantanan' yang lebih menekankan tanggung jawab dan saling menghormati dalam relasi antargender perlu pula dipopulerkan di antara remaja putra. Program pelayanan kesehatan reproduksi remaja harus mulai dipikirkan, dengan penyedia layanan yang 'ramah remaja': menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi, peka pada persoalan remaja.

Meneruskan upaya meretas hambatan sosial budaya dan agama dalam persoalan reproduksi dan seksualitas remaja, melibatkan kelompok masyarakat yang lebih luas, seperti ulama-rohaniwan, petinggi adat untuk menilai, merencanakan dan melaksanakan program yang paling tepat untuk kesehatan reproduksi remaja, termasuk juga mendorong keterbukaan dan komunikasi dalam keluarga.

Apa pun yang dirancang dengan baik takkan berjalan sempurna tanpa kerja yang sungguh-sungguh untuk mendengar remaja kita, berupaya memenuhi kebutuhan psikologisnya, memuaskan rasa ingin tahunya, sembari mengajari mereka menjalani kehidupan dengan bertanggung jawab.

CONTOH SEKULARISASI :

Kasus Tindakan Kelahiran Secara Caesar Yang Banyak Dipilih Oleh Dokter MENURUT sebuah temuan, tindakan operasi caesar terus meningkat di kalangan ibu melahirkan, bahkan menjadi tren. Para dokter mulai mengkhawatirkan kondisi ini.

Studi baru pada 1996-2007 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tindakan operasi caesar (C-section) naik lebih dari 50 persen, dan "satu di antara tiga ibu yang baru melahirkan memilih untuk caesar”, kata pemimpin peneliti Dr Juni Zhang dari Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development.

Selain itu, lebih banyak wanita daripada sebelumnya yang mengulang operasi Caesar dengan tingkat kelahiran induksi secara medis juga tinggi.

"Kami menemukan 44 persen wanita melahirkan setelah diinduksi," kata Zhang, yang merupakan peneliti senior di lembaga Divison of Epidemiology, Statistic and Prevention Research. "Dalam kelompok (diinduksi), tingkat C-section dua kali lebih tinggi dibanding wanita yang melahirkan secara normal."

Seperti dikutip Health24, Zhang juga mencatat bahwa banyak kelahiran caesar dilakukan pada tahap awal persalinan, sebelum wanita bahkan memiliki kesempatan untuk melahirkan secara normal.

Operasi Caesar membawa risiko

Seperti halnya operasi apa pun, C-section dilengkapi dengan risiko, kata Dr Saleh Yasin, profesor kebidanan dan ginekologi di University of Miami Miller School of Medicine.

"Pertama, operasi caesar bukan hanya untuk memiliki bayi, melainkan memiliki bayi melalui operasi besar. Jadi, ada kemungkinan pendarahan, infeksi, penyembuhan, dan pemulihan," kata Yasin.

Ada juga efek jangka panjang dari operasi Caesar yang diulang. "Anda memiliki lebih banyak kasus caesar terkait histerektomi, transfusi, dan kematian ibu," katanya.

Meskipun konsekuensi ini hanya mengubah sekian persen kasus, "kita melihat kenaikan hampir 10 kali dari komplikasi yang signifikan," kata Yasin. "Kita perlu memastikan bahwa kita sedang melakukan operasi ini kepada pasien yang tepat—waktu yang tepat untuk kesehatan jangka panjang pasien," tambahnya.

Dalam studi yang diterbitkan American Journal of Obstetrics and Gynecology ini, para peneliti bekerja sama dengan Consortium on Safe Labor. Mereka mengumpulkan data kelahiran caesar di seluruh Amerika Serikat menggunakan data dari hampir 229.000 catatan medis elektronik dari 19 rumah sakit.

Temuan

Mereka menemukan bahwa 30,5 persen dari semua kelahiran dilakukan melalui operasi caesar pada 2007, termasuk 31,2 persen wanita yang memiliki anak pertama.

Di antara wanita yang menjalani C-section daripada melahirkan normal, setengahnya dilakukan sebelum leher rahim membuka kurang dari enam sentimeter di awal proses persalinan, kata Zhang.

Banyak alasan menumbuhkan tingkat c-section

Banyak alasan yang bisa membantu menjelaskan mengapa jumlah operasi caesar meningkat, kata para peneliti. Ini termasuk wanita menunda kelahiran sampai mereka mendekati usia menengah (30 tahun-an), meningkatnya angka obesitas pada ibu hamil, dan peningkatan kelahiran kembar akibat penggunaan treatment kesuburan. Serta ketika seorang wanita telah melakukan operasi Caesar pertama, dokter mungkin memberikan kelahiran berikutnya dengan cara yang sama.

American College of Obstetricians and Gynaecologists mengeluarkan petunjuk yang menegaskan bahwa banyak wanita yang melakukan C-section mungkin menjadi kandidat kelahiran normal di kehamilan berikutnya.

Dokter turut mendorong tren operasi Caesar. Sebab, banyak dokter kandungan takut dituntut jika sesuatu yang salah terjadi selama proses persalinan.

"Untuk membuat dampak yang signifikan terhadap tingkat kelahiran caesar yang tinggi, harus fokus mencegah kelahiran yang tidak terlalu memerlukan caesar setelah melewati beberapa aspek," tulis para peneliti.(ftr)
Zaman dahulu kala, persalinan hampir selalu mengenal kata “normal”, dalam arti bayi keluar melalui “jalan lahir” atau vagina. Namun mulai akhir dekade 90an sampai dengan saat ini, melahirkan dengan cara caesar seakan-akan menjadi trend dan mode. Para calon ibu berbondong-bondong mem-booking rumah sakit untuk melakukan proses kelahiran dengan cara caesar, seperti halnya mem-booking hotel. Operasi caesar pun banyak yang dilakukan tanpa anjuran medis sama sekali. Alasan yang diberikan umumnya agar bisa memilih tanggal lahir seperti yang diinginkan (misalnya, pada pergantian millenium), juga untuk alasan praktis seperti sang ibu tidak perlu tersiksa harus mengejan, selain itu rasa nyeri yang ditimbulkan saat proses kelahiran juga tidak separah melahirkan normal karena sang ibu mengalami bius, baik lokal maupun total. Tak heran, angka kelahiran caesar di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Operasi caesar yaitu suatu tindakan melahirkan bayi melalui perut. Dengan kata lain proses melahirkan bayi ini tidak melalui jalan lahir biasa vagina).Tetapi, ini harus dilakukan berdasarkan adanya indikasi medis,” tegas Dr.H. Boyke Dian Nugraha, DSOG, MARS, dari RS Kanker Dharmais, Jakarta

Banyaknya calon ibu yang minta di-caesar tanpa rekomendasi medis, diduga karena kurangnya informasi tentang hal itu. Padahal, resiko operasi itu banyak dan serius, sehingga jauh lebih berbahaya dibanding persalinan normal. Dan yang harus memikul resiko itu bukan cuma sang ibu, tapi juga bayi. WHO sendiri mengatakan bahwa seharusnya operasi caesar hanya digunakan untuk menangani 10-15% persalinan.

Sayangnya, banyak wanita yang takut melahirkan secara normal. Lantas, memilih melahirkan dengan operasi caesar tanpa indikasi medis. “Ini tindakan yang sangat berlebihan. Karena meski bagaimana melahirkan normal sejak dulu adalah peristiwa fisiologis, alamiah, yang tentu saja jauh lebih baik dari persalinan lewat operasi,” kata Dr. Boyke.

Jika indikasi medis menunjukkan adanya kelainan, baik pada ibu ataupun janin, maka operasi caesar bisa menjadi salah satu solusi. Seperti kita tahu, dalam proses persalinan ada tiga faktor penentu yang dikenal dengan istilah 3P. Yang pertama power, yaitu tenaga mengejan atau kontraksi otot dinding perut rahim. Kemudian passage keadaan jalan lahir. Dan, passanger, yakni si janin yang hendak dikeluarkan.

Kelainan power yang berakibat pada dilakukannya operasi caesar yaitu, keadaan ibu berpenyakit jantung atau asma yang akut, daya mengejan lemah, dan beberapa penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga. Kelainan passage biasanya timbul karena sempitnya panggul, tertutupnya jalan lahir oleh plasenta, atau terdapat infeksi di jalan lahir sehingga dikhawatirkan akan menular ke anak, misalnya herpes kelamin. Kelainan passanger karena bayi dengan berat lahir besar (lebih dari 4 kg), bayi sungsang untuk kelahiran pertama, atau diduga janin dengan keadaan denyut nadi kacau dan melemah.

Saat ini yang mengherankan, terdapat dokter yang bersedia memenuhi keinginan si ibu untuk operasi caesar kendati tanpa indikasi medis. Operasi caesar memang menguntungkan jika dilakukan dengan alasan yang tepat, seperti yang telah diuraikan di atas. Tetapi, menjadi sia-sia jika tanpa alasan medis. Tentu karena operasi ini menguras dana yang tidak sedikit. Yang mungkin lebih baik jika dana ini dialihkan untuk keperluan yang lain.

Kecuali itu, operasi ini pun merugikan janin jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Misalnya saja terjadi waktu operasi yang terlalu lama. Akibatnya, anestesi yang semula hanya ditujukan buat si ibu, bisa mempengaruhi janin. Sehingga bayi yang dilahirkan tidak langsung menangis. Kelambatan menangis ini bisa menyebabkan kelainan hemodinamika. Begitu juga saat pengeluaran air ketuban di saluran napas. Pada persalinan normal, karena bayi melewati jalan lahir yang sempit sehingga sisa cairan terperas keluar. Tidak demikian halnya pada persalinan caesar.

Kondisi-kondisi tersebut tentu akan berpengaruh pada skor apgar, yaitu penilaian terhadap kemampuan adaptasi bayi dengan lingkungan barunya.Saat ini operasi caesar dianggap mampu menyelamatkan bayi-bayi yang tidak bisa lahir lewat persalinan normal. Misalnya saja, bayi prematur yang mengalami gangguan pernapasan. Dalam makalah ini kami akan berusaha menganalisis dan membahas masalah kelahiran normal dan caesar dengan lebih mendetail.

Keadaan Umum Responden

Responden dengan kelahiran normal berusia 41 tahun pada saat melahirkan anak yang terakhir. Ibu dengan empat orang anak ini telah mengalami empat kali masa kehamilan dan juga empat kali kelahiran. Semua anaknya dilahirkan dalam keadaan normal. Berbeda dengan responden yang satu lagi. Dimana kedua anaknya dilahirkan melalui bedah caesar. Pada saat anak kedua lahir, responden ini berusia 27 tahun.

Keadaan Kesehatan Menjelang Kelahiran

Dari hasil wawancara yang didapat, diketahui bahwa keadaan kesehatan ibu hamil sangat berpengaruh pada proses kelahiran bayinya. Terbukti dari kedua responden yang telah diwawancarai. Ibu dengan kelahiran caesar mengaku bahwa ia pernah menderita penyakit yang serius, yaitu hipertensi. Walaupun ia sudah berusaha melakukan pengobatan dan mengkonsumsi vitamin, namun penyakit tersebut tetap memberikan efek negatif terhadap janin yang dikandungnya. Apalagi beliau tidak menjaga stamina dengan berolahraga.

Kelahiran caesar pada anak keduanya ini sebenarnya terpaksa dilakukan oleh responden yang bernama ibu Elis ini. Hal ini dikarenakan jarak kelahiran anak pertama dengan anak ke dua hanya berkisar satu tahun. Anak pertama yang juga dilahirkan melalui operasi caesar membuat dokter melarang Ibu Elis untuk melahirkan normal. Karena menurutnya, setelah melakukan operasi caesar dan hendak melahirkan normal pada kehamilan berikutnya maka jarak minimal yang dibutuhkan adalah tiga tahun. Tetapi jika tidak mencukupi waktu tersebut, si Ibu harus melakukan operasi caesar kembali karena jika memilih untuk melahirkan secara normal, akan beresiko terhadap kandungan sang Ibu.

Berbeda dengan ibu Elis, responden yang kedua, ibu Nani tidak pernah menderita penyakit akut yang serius. Kondisi fisiknya sebelum dan pada saat kehamilan selalu ia jaga agar selalu prima. Hal ini terbukti dengan aktivitas olah raga sebelum ia hamil. Namun, pada saat hamil ibu dengan empat anak ini mengaku tidak melakukan senam kehamilan karena tidak memadainya fasilitas yang ia miliki akan tetapi ia menggantinya dengan menjalankan tugas sehari-hari dengan rutin agar tetap berkeringat. Selain itu, ibu Nani juga mendapatkan imunisasi saat hamil, tidak seperti Ibu Elis yang tidak mendapatkan imunisasi tersebut.

Besarnya bayi yang dikandung juga mempengaruhi proses kelahiran. Bayi yang memiliki ukuran tubuh yang besar juga memicu seseorang untuk melahirkan melalui operasi caesar. Upaya ini dilakukan untuk menghindari terjadinya resiko buruk yang akan dialami oleh ibu dan anak dikemudian hari. Hal ini terlihat sangat jelas dari kedua responden dimana Ibu Nani yang hanya mengalami penambahan berat badan sekitar 8 kilogram, melahirkan dengan cara normal Sedangkan Ibu Elis yang mengalami kenaikan berat badan sekitar 14 kilogram, melahirkan dengan cara caesar. Kenaikan berat badan Ibu Elis ini menandakan bahwa bayi yang sedang dikandungnya berukuran besar yang menjadi salah satu penyebab kelahiran anak keduanya ini harus dilakukan melalui operasi caesar.

Keadaan Kesehatan Setelah Melahirkan

Perbedaan mendasar antara kelahiran normal dan caesar juga terlihat dari usia bayi yang dilahirkan. Pada umumnya, bayi yang dilahirkan melalui operasi caesar tidak mencukupi usia kelahiran bayi pada umumnya. Hal ini memang disengaja oleh para dokter karena jika usia bayi mencapai usia kehamilan normal, yaitu sekitar 42 minggu, maka kandungan ibu akan berkontraksi dengan sendirinya untuk melahirkan secara normal. Padahal apabila kelahiran normal tidak memungkinkan dilakukan karena alasan medis, maka ini akan berdampak buruk bagi ibu maupun anak tersebut.

Tidak seperti Ibu Nani yang melahirkan secara normal, kelahiran anak Ibu Elis terjadi ketika usia anaknya mencapai 38 minggu. Kelahiran premature inilah yamg menyebabkan ukuran bayi pada saat lahir kecil dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan cukup usia. Walaupun kesehatan Ibu Elis pulih satu hari setelah melahirkan, namun tetap saja harus diawasi dan dirawat oleh dokter spesialis selama satu minggu. Berbeda dengan Ibu Nani yang tidak memerlukan perawatan khusus dari dokter spesialis, akan tetapi kondisi kesehatannya pulih satu hari lebih lama dibandingkan dengan Ibu Elis.

Keadaan kesehatan bayi kedua responden ini cukup baik dan sehat ketika setelah dilahirkan dan sampai sekarangpun kondisi kesehatannya tetap terjaga. Tidak tampak adanya gejala-gejala penyakit pada bayi Ibu Elis yang sekarang berusia tiga bulan lima hari. Sama halnya dengan bayi Ibu Nani yang berusia tujuh bulan tujuh hari, bayi yang berjenis kelamin laki-laki ini menunjukkan kesehatan yang prima pada usianya yang masih tergolong kecil.

Pengalaman Psikologis Setelah Melahirkan

Perasaan yang dirasakan masing-masing ibu berbeda pada saat melahirkan. Ada yang merasa cemas, khawatir bahkan ada yang stress disaat menjelang proses kelahiran tersebut. Hal ini juga yang dialami Ibu Elis dan Ibu Nani menjelang kelahiran anaknya.

Ibu Elis yang melahirkan anak pertamanya dengan operasi caesar merasa sangat khawatir ketika anak keduanya ini juga harus dilahirkan melalui operasi caesar. Ia sangat takut jika anaknya yang sekarang tidak selamat sama seperti anaknya yang pertama. Walaupun proses bersalin melalui operasi caesar pada anak pertamanya dapat dikatakan berhasil, namun ternyata kondisi fisik anaknya tersebut tidak memungkinkan untuk bertahan hidup dan meninggal pada usia dua hari setelah kelahiran.

Disaat Ibu Elis merasakan hal tersebut, dukungan suami terasa sangat membantu dirinya untuk meredam perasaan khawatirnya itu. Selain dukungan secara mental, suaminya juga memberikan dukungan secara fisik dengan cara mengurus segala persiapan Ibu Elis, baik sebelum kelahiran maupun setelahnya.

Melihat kondisi anaknya yang sehat setelah operasi dilakukan, Ibu Elis dan suaminya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Mereka berdua tidak terlalu mempermasalahkan perkara jenis kelamin. Menurut mereka, asalkan anaknya terlahir dengan kondisi sehat merupakan karunia yang sangat besar bagi mereka.

Berbeda dengan Ibu Nani yang merasa sangat senang ketika anaknya yang ke-empat ini lahir dengan jenis kelamin yang sesuai dengan keinginannya dan suaminya, yaitu laki-laki. walaupun menjelang kelahiran Ibu Nani merasa agak takut, mengingat usianya yang sudah mencapai 40 tahun. Namun hal itu terobati karena anaknya bisa dilahirkan secara normal tanpa operasi. Apalagi pada saat itu suami memberikan dukungan dan perhatian yang lebih kepadanya.

Perbandingan kebiasaan makan responden

Pada umumnya, ibu setelah melahirkan akan mengalami peningkatan dalam porsi dan frekuensi makannya baik dari responden yang melahirkan normal maupun yang melahirkan dengan bantuan operasi caesar. Hal tersebut dikarenakan ibu-ibu tersebut sedang menyusui sehingga asupan makan akan bertambah dibanding dari sebelum melahirkan. Namun ada perbedaan dari jenis makanan yang dikonsumsi oleh kedua ibu tersebut. Kedua responden yang melahirkan normal lebih banyak memakan sumber protein nabati, misalnya tahu dan tempe serta sayuran. Ibu yang melahirkan dengan operasi Caesar lebih banyak memakan sayuran. Intensitas (lebih sering atau tidaknya) lebih didasarkan pada faktor kesukaan. Sumber karbohidrat yang responden konsumsi masih seperti kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, yaitu nasi. Untuk sumber makanan lainnya dipenuhi secara merata oleh keduanya.

Kedua responden tersebut tidak memiliki pantangan makan setelah melahirkan. Informasi tersebut, keduanya dapatkan dari dokter maupun bidan tempat responden memeriksakan kehamilannya. Karena memang keadaan kedua responden memungkinkan untuk memakan semua jenis makanan. Tidak ada mitos-mitos yang dituruti keduanya yang biasa dilakukan oleh ibu menyusui kebanyakan. Namun untuk responden dengan kelahiran Caesar ini, konsumsi yang mengandung garam berlebihan dikurangi. Frekuensi makan ibu selama masa pasca melahirkan, responden melahirkan normal lima kali dalam satu hari sedangkan ibu dengan operasi Caesar tiga sampai empat kali sehari. Hal tersebut dapat disebabkan karena perbedaan jenis kelamin anak kedua ibu tersebut. Anak laki-laki (anak responden melahirkan normal) menyusu lebih sering dibanding anak perempuan (anak dari responden melahirkan Caesar).

Setelah persalinan ini, kedua responden mempunyai minuman tambahan yang biasa dikonsumsi. Responden kelahiran normal meminum suplemen penambah darah yang dikonsumsi satu kali sehari. Karena semasa kehamilan pun, responden mengalami anemia. Responden dengan kelahiran operasi Caesar hanya meminum susu untuk ibu menyusui dua kali sehari.

Analisis kasus ibu dengan kelahiran bermasalah

Ibu Elis melahirkan putri keduanya melalui operasi caesar. Sebenarnya Zahra, anak responden, sehat dan normal dalam kandungan. Hanya saja, dokter spesialis kandungan memberitahukan bahwa responden harus melahirkan dengan operasi Caesar mulai dari awal kehamilan. Hal tersebut dikarenakan respondenmengalami pre-eklamasi. Hipertensi yang dialami responden selalu terjadi setiap kehamilan namun tekanan darah responden kembali normal setelah melahirkan.

Saat kehamilan pertama, tekanan darah responden sangat tinggi hingga mencapai 200 per 110 sehingga dokter memutuskan untuk segera melakukan operasi Caesar. Saat itu usia kehamilan responden masih berusia 26 minggu. Sehingga bayi mengalami gangguan paru-paru (belum bisa bernapas normal). Dua hari setelah kelahiran, bayi tersebut meninggal.

Tiga bulan setelah kelahiran, responden dinyatakan hamil lagi. Karena jarak dari kelahiran pertama ke yang kedua terlampau dekat, dokter telah mengharuskan responden untuk melahirkan dengan operasi Caesar pada awal kehamilan. Menurut dokter, jika ingin melahirkan normal pada kelahiran kedua, jarak yang aman dari kelahiran operasi Caesar pertama minimal tiga tahun.

Satu hari menjelang kelahiran, responden telah berada di rumah sakit untuk menjalani pemantauan dan pengecekkan kesehatan. Delapan jam menjelang operasi, responden diharuskan untuk berpuasa dan beristirahat. Sesudah proses kelahiran, responden dipisahkan dari bayinya. Bayi ditepatkan pada ruangan tersendiri di baby room. Sedangkan responden tetap di ruang perawatan. Hanya ketika ingin menyusui saja, bayi diserahkan kepada responden. Sambil keduanya mendapatkan pengointrolan dan perawatan. Responden mendapat dukungan besar dari suami dan keluarga hingga akhirnya responden dapat melahirkan dengan selamat dan bayinya sudah berusia 3 bulan.